Pembaca yang budiman,
Menutup tahun 2007, Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) mengeluarkan ramalan bernada ancaman. Disebutkan antara tanggal 22 sampai 26 Desember 2007, gelombang laut setinggi 2 sampai 3 meter akan melanda pantai utara Jawa, termasuk Jakarta. Lembaga pengamat dan pencatat cuaca ini memperkirakan hujan dengan skala sedang sampai tinggi akan berlangsung sampai Februari 2008. BMG juga memperkirakan sejumlah wilayah ditengarai akan dilewati potensi bencana seperti banjir, longsor, dan angin kencang, termasuk ibukota Jakarta.
BMG tentunya bukan sedang menakut-nakuti, melainkan mengingatkan supaya kita lebih waspada dan bersiap-siap mengahdapi berbagai kemungkinan. Saat ini saja, sebagian wilayah Jakarta Utara sudah tergenang oleh gelombang pasang laut atau rob yang merendam perumahan warga, jalan raya, kawasan industri, dan mengganggu aktivitas kegiatan warga, menghambat kerja pemerintahan.
Inilah ironisnya ibukota. Kota nomor satu di Indonesia ini ternyata mengidap penyakit banjir yang akut. Jika sebelumnya ancaman banjir datang dari wilayah selatan (hulu) seperti Bogor dan Puncak, ancaman banjir kali ini datang dari laut yang yang menyimpan sumber air tak terbatas. Agak miris membayangkan jika gelombang pasang benar-benar menerjang ibukota. Ingat banjir besar awal Februari 2007, yang merenggut 55 nyawa dan memaksa puluhan ribu warga Jakarta mengungsi? Bayangkan jika gelombang laut datang menyerbu Jakarta bersamaan dengan banjir kiriman dari Bogor. Tidakkah Jakarta bisa tenggelam?
Kita patut miris melihat kesiapan pemerintah DKI dengan kebijakan wait and see, daripada melakukan upaya preventif penanggulangan banjir. Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang masih dalam pengerjaan itupun tidak menjanjikan bisa mengatasi banjir di Jakarta. Oleh karena itu, upaya meninggikan dan membangun tanggul baru yang kokoh di pesisir utara Jakarta harus menjadi prioritas. Ini memang bukan proyek untung seperti membangun jaringan busway. Tetapi jelas ini lebih esensial karena menyangkut keselamatan jutaan warga kota.
Keterbatasan anggaran tidak boleh dijadikan alasan mengingat pemerintah Jakarta mampu membangun jaringan busway dengan dana ratusan miliar. Pemerintah juga mengizinkan berdirinya mal-mal dan bangunan beton berskala raksasa di sekitar pesisir utara yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air. Untuk soal anggaran, pemerintah DKI bisa meminta anggaran dari pemerintah pusat sebagai upaya mempertahankan eksistensi ibukota negara dari bencana banjir.
Menghadapi ancaman banjir besar, pemerintah Jakarta selayaknya menyiapkan respon dan persiapan yang meyakinkan. Bukan hanya mengeluarkan imbauan standar seperti waspadai “ancaman banjir”.
Penanganan banjir di ibukota memang kompleks dan berbiaya mahal. Tapi itu gunanya kita punya pemerintahan agar bisa melindungi warganya ancaman bencana. Peringatan bahaya banjir telah diluncurkan. Sekarang terserah kita, apakah memilih "sedia payung sebelum hujan", ataukah memilih "menunggu Jakarta tenggelam oleh banjir besar". (***).
sumber: Suara Publik
Menutup tahun 2007, Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) mengeluarkan ramalan bernada ancaman. Disebutkan antara tanggal 22 sampai 26 Desember 2007, gelombang laut setinggi 2 sampai 3 meter akan melanda pantai utara Jawa, termasuk Jakarta. Lembaga pengamat dan pencatat cuaca ini memperkirakan hujan dengan skala sedang sampai tinggi akan berlangsung sampai Februari 2008. BMG juga memperkirakan sejumlah wilayah ditengarai akan dilewati potensi bencana seperti banjir, longsor, dan angin kencang, termasuk ibukota Jakarta.
BMG tentunya bukan sedang menakut-nakuti, melainkan mengingatkan supaya kita lebih waspada dan bersiap-siap mengahdapi berbagai kemungkinan. Saat ini saja, sebagian wilayah Jakarta Utara sudah tergenang oleh gelombang pasang laut atau rob yang merendam perumahan warga, jalan raya, kawasan industri, dan mengganggu aktivitas kegiatan warga, menghambat kerja pemerintahan.
Inilah ironisnya ibukota. Kota nomor satu di Indonesia ini ternyata mengidap penyakit banjir yang akut. Jika sebelumnya ancaman banjir datang dari wilayah selatan (hulu) seperti Bogor dan Puncak, ancaman banjir kali ini datang dari laut yang yang menyimpan sumber air tak terbatas. Agak miris membayangkan jika gelombang pasang benar-benar menerjang ibukota. Ingat banjir besar awal Februari 2007, yang merenggut 55 nyawa dan memaksa puluhan ribu warga Jakarta mengungsi? Bayangkan jika gelombang laut datang menyerbu Jakarta bersamaan dengan banjir kiriman dari Bogor. Tidakkah Jakarta bisa tenggelam?
Kita patut miris melihat kesiapan pemerintah DKI dengan kebijakan wait and see, daripada melakukan upaya preventif penanggulangan banjir. Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang masih dalam pengerjaan itupun tidak menjanjikan bisa mengatasi banjir di Jakarta. Oleh karena itu, upaya meninggikan dan membangun tanggul baru yang kokoh di pesisir utara Jakarta harus menjadi prioritas. Ini memang bukan proyek untung seperti membangun jaringan busway. Tetapi jelas ini lebih esensial karena menyangkut keselamatan jutaan warga kota.
Keterbatasan anggaran tidak boleh dijadikan alasan mengingat pemerintah Jakarta mampu membangun jaringan busway dengan dana ratusan miliar. Pemerintah juga mengizinkan berdirinya mal-mal dan bangunan beton berskala raksasa di sekitar pesisir utara yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air. Untuk soal anggaran, pemerintah DKI bisa meminta anggaran dari pemerintah pusat sebagai upaya mempertahankan eksistensi ibukota negara dari bencana banjir.
Menghadapi ancaman banjir besar, pemerintah Jakarta selayaknya menyiapkan respon dan persiapan yang meyakinkan. Bukan hanya mengeluarkan imbauan standar seperti waspadai “ancaman banjir”.
Penanganan banjir di ibukota memang kompleks dan berbiaya mahal. Tapi itu gunanya kita punya pemerintahan agar bisa melindungi warganya ancaman bencana. Peringatan bahaya banjir telah diluncurkan. Sekarang terserah kita, apakah memilih "sedia payung sebelum hujan", ataukah memilih "menunggu Jakarta tenggelam oleh banjir besar". (***).
sumber: Suara Publik